Nasihat dari dalam KRL Commuter Line

Juli 2016


Kulirik jam pada androidku yang tersisa 6 persen, pukul 22:10. Buru-buru kumatikan hp itu. 
"Jangan berharap dapat tempat duduk ya nanti kalo di kereta."
 Pernyataan semenit lalu dari seorang teman di telpon tadi masih menyisakan rasa penasaranku. "Ini jam pulang kerja. Beda dengan pagi tadi saat kamu berangkat, kursinya banya yang kosong" tambahnya, tapi aku tetap saja tidak paham. Ini memang kali pertamanya bagiku naik commuter line di malam hari (Sebenarnya kedua kali dalam hidup, karna perdana naiknya tadi pagi dari Bogor ke Jakarta). Tidak perlu menunggu lama untuk mengenyangkan rasa penasaranku itu karena beberapa detik kemudian aku sudah berdiri berdesakan diantara penumpang didalam commuter line Juanda-Bogor. 

Tiba di stasiun Gambir, kakiku sudah pegal karena seharian berjalan 'keliling' Jakarta juga merasakan berdiri di busway dengan 7 perhentian. Aku baru saja ingin melepaskan peganganku dari tali pegangan kereta untuk duduk di lantai ketika pengumuman larangan duduk di atas lantai kereta terdengar. Kereta berhenti di stasiun Gondangdia. Sedikit ruang lapang yang tadi sempat ingin kududuki kini sudah tak tersisa. PENUH! SESAK! Itu saja yang muncul di pikiranku sambil berharap segera sampai ke Bogor.

Berhenti di Gondangdia, MaasyaaAllah penumpang yang naik semakin banyak saja. Temanku menarik ujung jilbabku “jangan jauh-jauh..”katanya. Aku menoleh dan memberi anggukan dengan ekspresi “ini keretanya kenapa makin sesak?” Aku baru saja ingin membalikkan kepalaku, ketika sebuah pemandangan menghentikan pergerakanku.
Satu meter lebih dariku, seorang bapak paruh baya sedang asyik menatap layar handphonenya. Pemandangan yang lazim di zaman now ini sebenarnya, tapi yang satu ini betul-betul menyita perhatianku. Ekspresi wajahnya yang tenang tidak bisa menyembunyikan gurat lelahnya sehabis bekerja. Kulihat setelannya, baju khas karyawan suatu perusahaan yang bekerja fisik di lapangan terbuka. Aku tertegun, kagum. Mulutnya berkomat-kamit kecil. Sebentar-sebentar menggeser layar hpnya.

Kereta berhenti sebentar, entah di stasiun apa, aku tak dengar pengumumannya. Pikiranku sudah penuh dengan perasaan “Sudah sepantasnya kamu malu sama bapak itu, Mu. Beliau saja bisa. Kamu? Seharian hanya bermain dan sekarang malah ngedumel ingin cepat-cepat sampai rumah lalu tidur.”

Penumpang naik dan turun. Jarak kami semakin dekat, tentu saja masih dalam keadaan berdesak-desakkan. Sengaja kusorong kepalaku agar lebih jelas melihat layar hpnya, dari beberapa ayat yang kulihat, sepertinya Al-Qiyamah “Wah, kami pakai aplikasi Al-Qur’an yang sama” batinku. Sayangnya, kami berbeda. Aku jarang membuka aplikasinya.
Yang membuatku semakin kagum adalah; selama kurang lebih satu jam perjalanan dengan 18 stasiun pemberhentian sampai ke Bogor, bapak itu tetap berdiri disana, tanpa berpegang pada apa-apa sebagai penahan tubuhnya jika kereta bergoyang. Ia terus berkomat-kamit menatap alqur’an digital di layar hp-nya. Begitu kereta sedikit bergoyang, ia hanya mengayun-ayunkan badannya yang sedikit gempal itu agar seimbang dan tidak jatuh. Bahkan ketika ada kursi yang kosong didepannya, ia malah memanggilku dan menyuruhku duduk disana. “Capek tehMangga duduk…” Ia hanya menggeser sedikit ke pinggir ketika kereta mulai sedikit lenggang.

Ah…. Ini bahkan bukan bulan Ramadhan. Bahkan dengan wajahnya yang terlihat lelah itu, ia masih menyempatkan membaca Al-qur’an di perjalanan, sambil berdiri. 
Malu, Mu... Malulah!