"Percuma sekolah tinggi, itu saja tidak tau."

Astaghfirullahal'adzim, astaghfirullahal'adzim, astaghfirullahal'adzim.
Saya buka postingan kali ini dengan istighfar. Barangkali postingan ini menimbulkan prasangka-prasangka tidak baik. Sekaligus sebagai tanda saya memohon ampun apabila ternyata postingan ini memberatkan timbangan dosa saya. Astaghfirullahal'adzim, astaghfirullahal'adzim, astaghfirullahal'adzim.
Dari cerita santriwati kena masalah hp, berlanjut pada santriwati kena masalah headphone dan juga masalah ustadzah yang menegur santriwatinya karena senyam-senyum dengan pengendara yang lewat di jalan raya.

"Eh, katanya ada yang kena masalah hp" Seorang santriwati mulai membuka topik.
"Siapa?"
"Itu, si Fulanah. Ada 4 orang"
"Bagaimana ceritanya?"

Lalu mengalirlah cerita yang sudah terdengar ditambah-tambah dan dikurang-kurangi.
"Katanya kamu juga kemarin dihukum? Kenapa?"
"Iya. Itu... itu headphone bluetooth tu."
"Bagaimana ceritanya?"
"Pertama tu ustadzah A kira kami tu bawa hp. Terus ustadzah panggil kami."
Mengalir lagi cerita kedua. Masih khusyuk didengarkan dengan segala tambahan komentar si santriwati pembawa cerita yang melampiaskan kemarahan.
"Pokoknya kami sudah menangis-menangis. Habis tu, ustadzah A ni telpon ustadzah B, terus bilang (kita sudah salah sangka, ternyata bukan hp, tapi headphone). Habis itu lanjut ketik lagi di WA. Ustadzah B bilang (itu headphone bluetooth? Berarti jangan sampe ada hp nya tu). Padahaaaal.... idiiih percuma sekolah tinggi-tinggi tapi tidak tau kalo headphone bluetooth ada kartu memori)."

Bagai ditampar rasanya, wajah saya panas. Dari situ lah saya mulai beristighfar sebanyak-banyak nya mendengarkan cerita tersebut. Bagaimana tidak? Saya tau persis apa yang dikatakan dan ditanyakan ustadzah B mengenai bagaimana headphone tersebut digunakan. Lalu para santriwati yang hanya mendengar setengah-setengah ini dengan mudahnya "membicarakan" guru sekaligus musyrifah mereka seperti itu. Saya tau betul bahwa sang ustadzah B menanyakan dengan detail apa saja yang terjadi. Ustadzah B bertanya bahwa "kalau selain hp atau hal lain yang disambungkan untuk mendengarkan (musik), berarti mereka dengar (musik) pakai apa?" Begitu kira-kira inti pertanyaan yang di ketik di WA. Biar lebih valid, saya masukkan bukti tangkapan layarnya.
Hanya saja jarak pengiriman pesan "atau mereka dengar pakai apa dengan gambar dikirimkan saling bertabrakan dan lihatlah betapa bertumpuknya chat itu. Yang artinya dia langsung mengirimkan apa saja yang muncul dalam kepalanya sebagai reaksi membaca cerita dari si pengirim yang melaporkan penemuan headphone.
Lagian juga kan ada seri headphone yang tidak ada kartu memorinya. Ya Allaahurobbi...

"Terus ya ustadzah C itu, terlalu su'udzon sekali!"
"Kenapa?"
"Masa kita senyum saja tidak boleh?"
"Memang kamu senyum ke siapa?"
"Saya kan berdiri di depan swalayan to, terus ada motor lewat, pas liat begini jadi saya senyum to. Masa begitu saja tidak boleh? Terlalu apa ko. Pikir kita ini pergi gatal dengan orang lain."

Ini juga membuat saya istighfar berkali-kali. Jelas sekali bahwa ustadzah tersebut khawatir karena bulan lalu ada kejadian pemuda "tidak jelas" lalu-lalang sampai masuk ke area pesantren. Pemuda itu dengan sengaja menggoda para santriwati yang lewat. Bahkan hingga larut malam, ia sengaja mondar-mandir di depan gerbang, juga masuk ke pelataran pesantren, menanti santriwati-santriwati lewat lalu di goda. Sampai akhirnya ada kejadian seorang ustadzah yang digoda lalu gemparlah pondok. Usut punya usut ternyata pemuda tersebut sudah beberapa kali mondar-mandir semenjak ada santriwati yang pernah berbicara dengan para pengendara motor yang lewat.
Apakah salah jika ustadzah C menegur karena khawatir kejadian itu terulang? Ia hanya bersikap waspada. 

Kembali lagi pada isi chat yang melibatkan ustadzah A dan B. Di mana ustadzah A curhat bahwa ia merasa bersalah karena sudah su'udzon terhadap para santriwati terduga.
Padahal itu bukan su'udzon. Kami waspada, kami curiga. Semua waspada dan curiga itu ada sebabnya. Dan setau saya, sebagai pendidik dan pengasuh asrama, kami perlu waspada dan curiga. Apalagi kalau ada kriteria-kriteria yang menuju pada kecurigaan. Tetapi suudzon, tidak ada sebab pun bisa suudzon, dan itu tidak diperbolehkan. 
Waspada dan curiga, kalau sudah dijelaskan dan dikasih bukti, maka bisa ditepis dan bisa dihilangkan jika tidak terbukti. Tetapi kalau su'udzon atau prasangka, dijelaskan pun ia tidak bisa ditepis dan orang yang bersu'udzon akan tetap melihat hal yang tidak jelas tersebut.
Waspada, curiga, prasangka buruk (su'udzon); terlihat sama, tetapi sungguh berbeda.

Saya tau, para santriwati anak-anak muda yang diurus mungkin merasa jenuh. Tapi menceritakan hal-hal yang mereka tidak tau sepenuhnya itu lebih baik dihindari. Setau saya, mereka sudah sering diingatkan tentang itu.
Allaahummaghfirli, Allahummaghfirlana, Allahummaghfirlahum. 
Semoga perkataaan-perkataan yang mereka keluarkan itu, kesalahpahaman dan kemarahan itu, berhenti sampai pada mereka saja. Tidak lanjut keluar, singgah ke telinga-telinga yang lain, diceritakan lagi oleh mulut-mulut yang lain. 
Betapa kasiannya jika hoax dan membicarakan keburukan itu terus dipelihara.

Wallahu a'lam bishshowaab.