ALLAH ITU DEKAT






Tulisan ini bukan sekedar curhatan ala mahasiswa, karna mungkin ada hikmah yang bisa diambil. Saya pernah memposting tulisan ini di laman facebook saya, dan di bawah ini versi lainnya dari diary saya. 
Taman Impian dan Jawaban Allah
Suatu sore di penghujung tahun 2015. 
Hari itu adalah hari Ahad (re: Minggu)... dan seperti biasanya, hari Ahad adalah jadwalku untuk menelepon Ummi.Kebiasaan menelepon pada hari Ahad ini sudah berlangsung sejak aku merantau untuk melanjutkan pendidikan SMP hingga SMA di sebuah pondok di Dau, kawasan berhawa sejuk di kota Malang, Jawa Timur. Hingga saat sudah kuliah di tingkat tiga ini pun, setiap Ahad pagi sudah kujadwalkan untuk menelepon ummi. 
Biasanya obrolan dimulai dengan saling bertanya kabar, sudah makan atau belum, kemudian dilanjutkan dengan saling bercerita tentang apa saja yang sudah dilakukan, apa saja yang terjadi, bahkan hingga barang-barang yang kubeli dalam minggu ini (Hehe). 

Mungkin bagi orang lain, hal-hal seperti itu sangat tidak penting untuk dibicarakan. Tapi bagiku itu penting, kenapa? Karena bagiku, hal itu setidaknya menghibur ummi yang hanya tinggal bersama si-Bungsu yang baru kelas 4 SD di rumah kami itu. Dua adikku yang lainnya juga sudah melanjutkan pendidikannya di tanah Kalimantan Timur. Bisa terbayang kan betapa kesepiannya ummi di rumah? 

Kan ada yang bungsu... ke mana dia? 
Seperti anak usia 9 tahun lainnya, bocah cilik itu menghilang seharian sepulang sekolah dan baru kembali menjelang Ashar dengan badan berkeringat dan debu. 
Bagaimana dengan setelah Ashar? 
Biasanya jika guru mengaji atau beladiri nya tidak masuk, dia sudah super sibuk mencari alasan untuk bermain lagi. Alasan-alasannya biasanya seputar mencari ikan lah (karena belakang rumah kami adalah pantai dan biasanya air laut dalam keadaan surut pada sore hari, banyak anak kecil yang mencari ikan-ikan kecil, kepiting, siput laut, juga bermain dan mandi), pergi ke rumah nenek lah (letak rumah nenek kami hanya berjarak sekitar 50 kaki dari rumah kami), dan alasan-alasan lain yang hanya dimengerti oleh dia sendiri (ini karena biasanya kalau sudah tidak ada alasan, dia akan bergumam-gumam sambil memoncongkan bibirnya dengan wajah tertekuk. Ah, jadi rindu bocah ini. Hehe). Kadang juga ia sudah menghilang begitu saja sampai Maghrib tiba.
Aku yang merasa sebagai si-Sulung, ingin membuat ummi merasa bahwa tentu saja ia masih sangat dibutuhkan oleh kami, anak-anaknya di tanah rantau. Bukan hanya sebagai seorang wanita yang telah melahirkan kami, bukan hanya sebagai seseorang yang akan kami hubungi untuk meminta uang biaya hidup bulanan, tapi juga utuhnya sebagai seorang Ibu. Aku sadar, bahkan kiriman SMS dariku yang hampir tiap hari menghubunginya dengan “Assalamu’alaikum, ummi. Ummi lagi apa? Ummu baru pulang kuliah nih”, sudah mengundang bahagia di hatinya. Apalagi adik-adikku di Balikpapan yang karena berada di pondok, jadwal nya hanya sekali sebulan untuk menghubungi orang tua. Itu pun belum tentu kesempatan itu bisa selalu terjadi. Kabar dari mereka pasti sangat melegakan hatinya. 

            --Kembali ke hari Ahad bertanggal 20 Desember 2015-
Ada pembahasan lain di perbincangan kami sore itu. Berbeda dari yang sebelum-sebelumnya, kali ini aku selingi rasa rinduku dengan candaan pembuka. Dengan memberatkan suara, aku membuka percakapan minggu ini "Hallo, Ada yang bisa saya bantu?" Diseberang sana kudengar nada heran, tapi kemudian suara kesal yang terdengar bercanda itu pun keluar dengan logat Solornya yang khas mengomeli keisenganku. “Eegeree…
Setelah bertanya kabar, sudah sholat Ashar, dll, ummi mulai bercerita tentang apa-apa yang sudah terjadi minggu ini di rumah dan desa kami. Kami saling bertukar cerita. Beberapa kali perbincangan kami di sela oleh kesibukan ummi melayani para pembeli di kios (re: warung).
Perbincangan kami terhenti karena seorang kerabat menelepon. 
"Ngobrol sama bibi aja dulu, Mi."Ucapku pada Ummi. 

Beberapa menit kemudian, aku menelepon ummi lagi. Kali ini kudengar suara kertas dibolak-balikkan. Lalu dengan suara yang terdengar sedang tersenyum Ummi berkata
"Kak, ini Ummi lagi buka buku-bukunya kakak nih"
"Buku apa?" Tanyaku
"Tidak tau. Kayaknya buku kakak waktu di Malang."
"Ooh. Ada tulisan apa didalamnya?"
"Sebentar, ini di depannya ada tulisan arab Man Jadda wa Jada"

Semula, kukira yang ummi maksud adalah buku-buku catatan pelajaran ku selama SMP yang kutinggalkan dalam dus di bawah kolong kasur di kamar adikku. Tapi begitu ia melanjutkan,
"Di bawahnya, Jangan lupa ngisi tiap hari"
Aku paham sekarang. Itu buku Daily Activities yang selalu dibagikan di awal semester saat di Boarding School dulu. Buku yang berisi list hal-hal positif yang wajib dan sunnah dilakukan oleh seorang pelajar muslim. Tiap akhir semester, buku itu akan di kumpulkan ke pihak kantor Diniyyah, dan akan dijadikan penilaian dalam raport kami. Aku suka sekali mengisi nya tiap malam menjelang tidur, sekalian menorehkan sedikit curahan hati pada halaman-halaman kosong pembatas harinya.

"Taman impian" kata ummi.
"Apa itu mi? Cerpen kah?" Tanyaku.
"Tidak, ini ada di dalam buku yg tadi. Dengar ya... Ummi baca…”
"Aku ingin jadi hafidzoh 30 juz. Aku ingin lulus SMP dan SMA dengan nilai terbaik. Aku ingin jadi murid yang bisa menjadi teladan. Aku ingin masuk kuliah dengan beasiswa. Aku ingin bisa kuliah di luar negeri (Jepang). Aku ingin bisa menikmati musim semi. Aku...." Aku pun tersadar. Itu catatan yang kubuat saat kelas 7 semester 2 dulu. Taman impian itu kugambar setelah mengikuti sebuah training di pondok. Terinspirasi dari video yang ditayangkan oleh sang pemateri, dokumentasi singkat milik Danang A. Prabowo yang dikenal sebagai Sang Pembuat Jejak, seorang alumnus IPB (Institut Pertanian Bogor) yang telah mencapai impian-impiannya yang ia tulis diatas kertas lalu ditempel di tembok kamar kosnya.
"Lanjutkan, mi" pintaku.
            Suara ummi masih terus mengalir membacakan harapan-harapan yang pernah aku tulis itu. Seingatku 2 halaman buku berukuran A4 itu penuh kugambarkan "Taman Impian" itu, 100 lebih kalo tidak salah. Sambil membayangkan aku ketika menulis itu. Aku tersenyum. Alhamdulillah, beberapa dari mereka telah kucapai.
            Lama kemudian, suara ummi berhenti. Kukira itu karena tulisanku yang tak terbaca dengan jelas, karena kudengar suaranya terbata-bata. Tapi setelah kusimak, ada sedikit isak tangis dalam keterbataannya itu. Ah... rupanya ummiku menangis. Diam, lama suasana menjadi hening. Kemudian ummi tertawa lirih
"Aduuh, ini apa e... tulisannya?" Kata ummi.
            Aku tiba-tiba sadar, ummi mulai terbata ketika sampai pada tulisan "Aku ingin membuat Ummi dan Abi bangga." Entah, mungkin ummi terharu atau mengingat Alm. Abi.
            Masih dengan terbata ummi melanjutkan, "Aku ingin naik haji bersama ummi, abi dan keluarga. Aku ingin menjadi Muslimah yang menjayakan Islam. Aku ingin menggapai ridho Allah swt. Aku..."--"Ah, ummi. Sudahlah, tolong jangan menangis begitu." Batinku sementara airmataku pun mulai mengalir.~

###
            Satu tahun kemudian (Agustus 2016). Di kontrakan kos yang baru satu bulan kutempati. Aku sedang duduk-duduk bersama teman-teman ketika salah satu orang bertanya padaku.
Arii, kak Ummu teh gimana bisa kuliah di UPI? Kenapa juga ambil bahasa Inggris?”
            Aku tersenyum. Pertanyaan ini pernah diajukan beberapa kali saat dua tahun yang lalu ketika aku masih berstatus mahasiswa baru.
“Ndak tau. Dari pondok yang memberi kesempatan. Pas ikut tes PBSB (Program Beasiswa Santri Berprestasi) dari Kemenag RI, teman-teman saya kebanyakan milih di Jogja, saya hanya ingin berbeda saja jadi milih di Bandung dan milih UPI (Universitas Pendidikan Indonesia) karena saya belum tau UPI tuh kayak apa. Karena waktu itu, saya dengar penjelasan dari pengawas kalo di UPI hanya buka Bahasa Inggris dan teman-teman juga mendukung saya untuk ambil Bahasa Inggris, akhirnya saya ambil sebagai pilihan pertama. Terus, Alhamdulillah ternyata lulus.” Itu jawabanku dulu pada setiap pertanyaan yang punya maksud yang sama.
            Tapi, entah kenapa malam itu saya jadi berpikir lebih panjang lagi, dan pada akhirnya saya bercerita pada mereka.

----#----
            Cerita sebenarnya di balik keterlibatan saya dengan PBSB ini bermula dari masalah yang saya lakukan di tempat saya mondok di Hidayatullah Batakte dahulu.
            Saat itu saya dan teman-teman sudah melewati masa Ujian Nasional (UN) dan liburan. Sambil menunggu pengumuman kelulusan UN, kami berada di pondok untuk membantu-bantu, istilahnya mengabdi pada pondok. Selain itu, kami juga mendapat banyak pembekalan dari ustadz-ustadzah dan dipersiapkan untuk melanjutkan studi ke tingkat selanjutnya.
            Keinginan mantap saya saat itu adalah melanjutkan kuliah di salah satu Perguruan Tinggi Swasta di Malang yang dihibahkan kepada lembaga ponpes yang saya tempati. Sayangnya dalam kurun waktu menunggu itu, saya melanggar peraturan pondok yang melarang santri-santri nya untuk membawa atau pun menyimpan handphone. Ditambah lagi karena saya berbohong bahwa saya tidak membawa/menyimpan handphone, masalah ini pun jadi semakin besar bertambah dengan masalah-masalah lainnya.
            Saya dan beberapa teman yang juga melanggar peraturan menerima sanksi dari perbuatan kami. Desas-desus bahwa kami tidak boleh melanjutkan kuliah di perguruan tinggi dibawah nama lembaga ponpes kami juga mencemaskan hati kami.
            Tibalah pagi itu, dimana kami (yang belum memiliki kejelasan akan melanjutkan studi kemana) tiba-tiba disuruh untuk bersiap-siap karena akan ada mobil yang datang menjemput kami. Aku yang sebelumnya menerima informasi bahwa kami disuruh ke kota untuk mengikuti kajian tentang tata cara memandikan dan menyolatkan mayat, sudah bersiap-siap. Namun, ada yang kuherankan.
“Kak, kenapa bawa pensil sama penghapus?” tanyaku pada seorang teman.
Sonde (re:tidak) tau, tadi ustadz yang suruh bawa. Katanya kita mau tes.”
“Hah? Tes? Tes apa? Bukannya kotong (re: kita) mau pi (re: pergi) ikut praktek mandi dan sholat mayat?” Aku mengernyitkan dahi.
Keheranan itu pun terjawab oleh penjelasan seorang ustadzah yang ikut mengantarkan kami.
“Kalian disuruh ikut tes dari Depag di MAN Model Kupang.” Singkat, padat, jelas.
Yang terjadi selanjutnya adalah bisik-bisik diantara kami.
“Waduh, kotong belum ada persiapan nii maa...” “Ini tes apa?” dan bisik-bisik lainnya.
            Setibanya kami di TKP, peserta-peserta lain sudah sibuk dengan lembaran-lembaran kertas dihadapan mereka. Saya dan teman-teman masuk, ribut menanyakan jika ada yang bawa pensil dan penghapus lebih.
            Setelah itu pun kami masih bingung, apa yang harus kami isi pada kolom nomor peserta, ke Perguruan Tinggi mana yang akan kami pilih, konsentrasi jurusan apa yang akan kami ambil. Pengawas pun menjelaskan lagi pada rombongan kami yang akhirnya membuat keributan kecil lagi. Berdiskusi siapa yang mau ambil ini-itu, siapa yang mau bersama-sama, lalu menertawakan tingkah kami sendiri yang bahkan tidak tahu seperti apa model Perguruan Tinggi dan jurusan yang sudah kami bulatkan pada lembaran kami.

----#----
Ditengah menceritakan kejadian itu pada teman-teman kos saya, ada pikiran lain yang muncul dalam kepala saya. “MaasyaaAllaah!! Ternyata begini cara Allah menjawab do’a saya 7 tahun silam.” Ya, do’a saya, harapan yang saya gambar di taman impian dalam buku saya itu.

"Aku ingin masuk kuliah dengan beasiswa."

Ya, sebuah mimpi adalah do'a dan harapan bagaimana kamu dimasa depan nantinya. Do'a yang saya sendiri sudah lupa bahwa pernah saya panjatkan. Dan akhirnya dikabulkan oleh Allah tepat disaat saya memang membutuhkannya. Tepat seperti janjiNya dalam Q.S Al-Mu'min, bahwa ia akan mengabulkan do'a hambaNya.


Q.S. Al - mu'min (40) : 60 --- Nama lain Q.S Ghafir
          
 Aku bahkan baru menyadari hal ini setelah 2 tahun menjalani perkuliahan. Ya, aku ingat. Allah memiliki beberapa cara dalam menjawab do'a hambaNya. Mungkin masalah itu Allah jadikan kesempatan bagi saya untuk berbenah diri dan dengan masalah itu juga, jalan mewujudkan kuliah dengan beasiswa itu terbuka. ya Allaaah... Betapa Dekat Engkau kepada hamba-hambaMu. Wallahu a’lam

Q.S. Al - Baqarah (2) : 186


MaasyaaAllah... Betapa dekatNya Dia :)